Sistem Pelayanan Kesehatan Bagi Penderita Lupus

Sistem Pelayanan Kesehatan Bagi Penderita LupusLupus terdiri dari beberapa jenis yang berbeda, salah satu dari masyarakat umum yang paling sering dirujuk adalah Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES dikenal sebagai penyakit 'Seribu Wajah' adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang tidak jelas mengapa. LES juga memiliki distribusi yang luas dari gambaran klinis dan tentu saja dari berbagai pandangan penyakit, yang sering menyebabkan kesalahan dalam upaya untuk mengenali.


Lupus Eritematosus merupakan kelainan autoimun, yang terdapat dalam dua bentuk utama, yaitu : Lupus Eritematosus Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus, SLE) yang dapat menyerang kulit maupun organ-organ dalam, dan Lupus Eritematosus Diskoid (Discoid Lupus Erythematosus, DLE), yang hanya bisa menyerang kulit. Pada sebagian kecil pasien, DLE bisa berkembang menjadi SLE.  Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kelainan multisistem, yang dapat menyerang kulit, persendian, jantung, perikardium, paru-paru, ginjal, otak, dan sistem hemopoietik. Penyakit ini secara khas menyerang perempuan, terutama pada usia subur, serta berlanjut dalam suatu seri terjadinya eksaserbasi dan remisi.
Penyebab pasti SLE masih merupakan misteri, tetapi bukti yang ada menunjukkan faktor-faktor imunologi, lingkungan, hormonal dan genetik yang saling terkait. Fakor yang lain meliputi :
a.              Stress fisik atau mental.
b.              Infeksi streptokokus atau virus.
c.              Panjaran cahaya matahari atau ultraviolet.
d.              Imunisasi.
e.              Kehamilan.
f.               Metabolisme estrogen yang abnormal.
Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl), hidralazi (Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang, penisilin, obat-obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB).
Awalnya SLE bisa bersifat akut atau insidius dan tidak menghasilkan pola klinis yang khas. Meskipun SLE dapat mengenai setiap sistem organ, namun tanda dan gejalanya berhubungan dengan cedera jaringan dan inflamasi serta nekrosis yang kemudian terjadi sebagai akibat serangan kompleks imun. Umumnya gejala klinis SLE meliputi :
a.              Demam.
b.              Penurunan berat badan.
c.              Rasa tidak enak badan (malaise).
d.              Keluhan mudah lelah.
e.              Ruam.
f.               Poliartlagia.


Tanda dan gejala tambahan dapat meliputi :
a.   Lesi pada sendi yang serupa dengan artritis rematoid (meskipun artritis lupus biasanya tidak erosif).
b.   Lesi kulit yang paling sering berupa ruam eritematus di daerah yang terpajan cahaya (ruam bentuk kupu-kupu yang klasik di daerah hidung dan pipi terdapat pada kurang dari 50 % pasien) atau ruam berbentuk papula dan skuama (yang menyerupai psoriasis), khususnya di bagian tubuh yang terkena cahaya matahari.
c.   Vaskulitis (khususnya pada jari-jari) yang mungkin terjadi karena lesi yang bersifat infark, ulkus tungkai yang nekrotik atau gangren pada jari-jari.
d.   Fenomena Raynaud (sekitar 20% pasien).
e.   Patchy alopecia dan ulkus yang tidak terasa nyeri pada membran mukosa.
f.    Abnormalitas paru, seperti pleuritis, efusi  pleura, pnemunitis, hipertensi pulmoner, dan yang lebih jarang terjadi, perdarahan pulmoner.
g.   Kelainan jantung, seperti pericarditis, miokarditis, endocarditis, dan aterosklerosis coroner yang dini.
h.   Hemetoria, mikroskopik, piuria dan sedimen urine dengan silinder seluler (celluler cast) akibat glomerulonefitis yang mungkin berlanjut menjadi gagal ginjal (khususnya bila tidak ditangani dengan baik).
i.    Infeksi saluran ini yang mungkin disebabkan oleh peningkatan kerentanan pasien terhadap infeksi.
j.    Gangguan serangan kejang (seizures) dan disfungsi mental.
k.   Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti ketidakstabilan emosi, psikosis, dan sindrom otak organik.
l.    Sakit kepala, iritabilitas, dan depresi (sering terjadi).
Gejala konstitusional SLE meliputi:
a)   Rasa pegal, tidak enak badan, dan mudah lelah.
b)  Demam dengan derajat rendah (subfebris) atau dengan lonjakan suhu tubuh (spiking fever) dan menggigil.
c)   Anoreksia dan penurunan berat badan.
d)  Pembesaran limfonodus (difus, local, dan tidak nyeri ketika ditekan).
e)   Nyeri perut.
f)   Mual, muntah, diare, konstipasi.
g)  Haid yang tidak teratur atau amenore selama fase aktif SLE.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya :
a.   Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b.   Ruam kulit atau lesi yang khas.
c.   Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
d.   Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
e.   Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
f.    Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
g.   Biopsi ginjal.
h.   Pemeriksaan saraf.

Penatalaksanaan Medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
a.   Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan gejala artritis.
b.   Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison buteprat (Acticort) atau triamsinolon (Aristocort) untuk lesi kulit yang kuat.
c.   Penyuntikan kortikosteroid intalesi atau pemberian obat antimalaria, seperti hidroksilorokuin sulfat (plaquenil), mengatasi lesi kulit yang membandel.
d.   Kortikosteroidsistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit yang serius yang berhubungan dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, pericarditis, nefritis lupus, vaskulitis serta gangguan pada SSP.
e.   Terapi steroid dosis tinggi dan terapi sitotoksik (seperti siklofosfamid (Cytaxan) untuk mengatasi glomerulonephritis proliferative yang difus.
f.    Dialisis atau transplantasi ginjal untuk gagal ginjal.
g.   Obat-obat antihipertensi dan modifikasi diet untuk meniminalkan efek lesi pada ginjal.
Komplikasi SLE yang mungkin terjadi meliputi:
a.   Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan.
b.   Infeksi saluran kemih.
c.   Gagal ginjal.
d.   Osteonecrosis tulang pinggul/ pangkal paha akibat akibat penggunaan steroid jangka panjang.
Sistem Layanan Kesehatan untuk Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
1.   Rujukan Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, RS Dr. Soetomo Surabaya merupakan beberapa rumah sakit di Indonesia yang melayani rujukan pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Dari data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2006 saja, di RS Dr. Soetomo sudah terdapat 215 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus).
2.     Prosedur Rujukan Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Batasan operasional rujukan kasus SLE ditujukan bagi dokter umum, internis atau ahli lain yang memerlukan kepastian diagnosis, pengelolaan pada kasus yang tidak responsif terhadap pengobatan yang diberikan, adanya kekambuhan pada pasien yang telah tenang (remisi) ataupun kasus SLE sedang berat dan keterlibatan organ vital, guna pengelolaan spesialistik. Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan kesehatan primer, yaitu:
1)  Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini di antara pasien yang dirawatnya dan melakukan rujukan diagnosis.
2)  Melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas).
3)  Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE.
4)  Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktivitas penyakit pasien SLE derajat berat.
DOKTER UMUM PUSAT PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
 
Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter umum di pusat pelayanan kesehatan primer sampai ke reumatologis :
                                                                          
KECURIGAAN SLE
                                                                                          RUJUK

 






                                                      RUJUK
 






Maksud rujukan dikelompokkan dalam:
a)   Konfirmasi diagnosis.
b)  Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktivitasnya..
c)   Panduan pengelolaan secara umum.
d)  Bila aktivitas penyakit tidak dapat dikendalikan.
e)   Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ vital atau membahayakan nyawa.
f)   Pencegahan/pengobatan efek samping obat.
g)  Pada SLE dengan keadaan tertentu seperti kehamilan.
3.   Biaya Pengobatan
Meski tergolong penyakit tidak menular biaya pengobatan lupus amat bervariasi, tergantung organ tubuh yang terkena dan berat ringannya penyakit. Sebagian besar odapus cukup mengonsumsi obat kortikosteroid, prednisone atau metilprednisolon.
Bila memakai obat generik, kedua obat tersebut harganya amat murah, sebulan kurang dari Rp 100.000, jadi kalau berobat di rumah sakit pemerintah, biasanya biayanya kurang dari Rp 200.000 sebulan. Namun, apabila berobat ke dokter spesialis, tentu harganya akan lebih mahal.
Apabila lupus menyerang ginjal pengobatan menjadi jauh lebih mahal karena perlu tambahan siklofosfamid atau imuran atau cellcept atau myfortic, yang memerlukan tambahan sekitar Rp 2 juta sebulan, dengan pengobatan paling sedikit selama enam bulan. Kelainan pada ginjal sering kali memerlukan biopsi ginjal dan kadang infus albumin yang lumayan mahal.
Untuk lupus yang amat berat, seperti gangguan pada jantung karena efusi perikard, penumpukan cairan di rongga perikard sekitar jantung atau edem paru dengan sesak napas, pasiennya memerlukan perawatan di ICU yang biayanya mahal. Sementara itu, untuk penyakit lupus yang sangat ringan, penderita tidak perlu berobat khusus. Mereka hanya perlu cukup menjaga pola hidup sehat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel